About

Information

Selasa, 12 Februari 2013

Nasional ( Politik ), Selasa 12 Februari 2013

Selasa, 12 Februari 2013 - 01:06:19 WIB
Akibat PP 109/2012, Berdampak Pada Peningkatan Biaya Tinggi Industri Rokok
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Politik 


Komhukum (Jakarta) - Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Azis US mengatakan kalau betul ingin melindungi kesehatan, pemerintah harus membatasi penggunaan kendaraan bermotor yang jelas mengeluarkan asap berbahaya, atau penggunaan pestisida yang berlebih, bukan Pelarangan merokok dengan membohongi masyarakat.

“Itu kan sudah jelas mengganggu kesehatan, tapi tidak ada regulasi yang membatasinya,” jelas kepada wartawan  dalam diskusi media di Warung Daun Cikini, Menteng, Jakarta, Senin (11/2). Menurut Hasan, PP ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kesehatan. “Yang ada adalah penyisipan agenda asing untuk menghancurkan industri tembakau di Indonesia,” jelasnya.

Dalam PP tersebut, terjadi diversifikasi paksa. Petani tembakau dipaksa menanam tanaman lain selain tembakau. Aturan ini sangat pro asing. Di satu sisi memaksa petani untuk tidak menanam tembakau, di sisi lain, tembakau dari luar dibebaskan masuk ke Indonesia dengan tarif nol persen. Berdasarkan data BPS November 2012, impor tembakau mencapai 120 ribu ton, telah melampaui separuh lebih kebutuhan nasional mencapai 200 ribu ton.

“Kalau tembakau dianggap barang adiktif, harusnya impor juga dibatasi. PP ini tidak bicara soal itu. Jadi tidak ada pemihakan pada petani, justru berpeluang mematikan perdagangan tembakau lokal Indonesia,” papar Hasan.

Selain itu, PP tersebut juga sebagai bentuk Kedzaliman Scientific. Karena dengan keluarnya PP ini, ungkap Hasan tertutup peluang pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemanfaatan tembakau bagi kesehatan. Tembakau dan produk tembakau dalam PP 109/2012 dijustifikasi sebagai barang adiktif, dimana barang adiktif dianggap buruk.

Jadi telah tertutup diversifikasi penggunaan tembakau untuk kepentingan kesehatan. Pengaturan diversifikasi (Pasal 58 dan penjelasannya) diperuntukkan untuk eliminasi tembakau sebagai rokok. “PP ini jelas-jelas tidak memberikan ruang bagi peneliti, scientis maupun pihak industri dan petani untuk mengembangkan bagi kepentingan kesehatan masyarakat. Ini kedzaliman scientific,” jelasnya.

Ia juga mempertanyakan bagaimana industri dan petani mau bersikap bertanggung jawab untuk mengurangi bahaya rokok kalau riset untuk kepentingan itu telah ditutup. Selain itu, hal ini juga memicu kenaikan Biaya Produksi Industri rokok, karena mencemaskan PP 109/2012 juga akan berdampak pada peningkatan biaya bagi industri rokok terutama industri skala kecil dan menengah, tetapi dampak itu akan terasa dalam jangka menengah.

Ismanu mengatakan PP ini tidak berbeda jauh dengan draft rancangan. Padahal, katanya, untuk menciptakan kehidupan yang sehat tidak hanya dengan berdasar pada PP tersebut. Apalagi, menurutnya, selama ini industri rokok sudah mematuhi seluruh regulasi yang berlaku di Tanah Air. "Ini jelas costly, karena dengan ketentuan harus mencatumkan gambar yang banyak pada kemasan, variannya banyak. Bukan hanya soal 40%, karena masing-masing varian harus menggunakan satu gambar," ujarnya.

Hasan mengatakan aturan itu akan sangat berdampak bagi industri rokok skala kecil dan menengah. Adapun, pengaturan soal iklan rokok, menurutnya, akan berdampak kepada industri rokok skala besar, karena akan semakin sulit untuk mempromosikan kepada konsumen. "Ini (PP, red) semakin menekan laju industri rokok. Padahal, industri rokok, menyumbang pemasukan bagi negara sekitar Rp. 100 triliun per tahun dari cukai dan pajak, kendati cukai dan pajak tersebut juga dibayar oleh konsumen," bebernya.

Namun, kebijakan tersebut akan berdampak kepada petani tembakau. Hasan menuturkan regulasi soal rokok itu belum berhenti dengan terbitnya PP, tetapi ke depan akan lagi muncul peraturan menteri yang semakin mempersulit industri. "Jadi, industri ini sedemikian rupa ditekan," ujarnya.

Saat ini Gappri sedang melakukan kajian baik untuk kepentingan internal anggota maupun kemungkinan langkah untuk mereview jika ditemukan terdapat keganjilan hukum. Kendala yang dihadapi adalah akan keluarnya biaya tambahan, misalnya pada kewajiban pencetakan gambar peringatan dimana masing-masing merek harus dicantumkan 5 varian gambar (Pasal 15 ayat 1 dan Penjelasannya), dengan durasi waktu tertentu.

“Jadi akan membebani ongkos produksi pabrikan rokok. Memang ada pengecualian untuk memproduksi tidak lebih dari 24 juta batang/tahun tidak dikenai ketentuan tersebut (Pasal 15 ayat 2), tetapi produsen dengan kapasitas itu hanya segelintir saja (10-an pabrik). 24 juta batang/tahun artinya 5.480 bungkus per tahun,” pungkasnya. (K-4/Roy)

0 komentar:

Posting Komentar