About

Information

Senin, 11 Februari 2013

Nasional ( Politik ), Senin 11 Februari 2013

Senin, 11 Februari 2013 - 11:50:05 WIB
Iberamsjah: Cara SBY Lengserkan Anas, Tidak Beretika
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Politik 


Komhukum (Jakarta) - Upaya Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melengserkan Anas Urbaningrum dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Demokrat dinilai tidak etis.

Menurut pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah, keputusan SBY mengambil alih kendali Partai Demokrat dinilai telah mencederai sistem demokrasi di Indonesia. Apalagi, di lingkup internal partai, ada mekanisme yang harus dilewati untuk menurunkan seorang pemimpin yang dipilih secara sah dan terlegitimasi melalui kongres atau musyawarah kerja nasional (Mukernas).

“Apa yang dilakukan SBY kepada Anas dalam pelengseran jabatan ketua DPP Partai Demokrat sangat tidak beretika. Cara itu juga tidak mengundang simpati masyarakat kepada SBY,” jelasnya kepada Komhukum.com di Jakarta, Senin (11/02)

Menurutnya, keputusan Presiden SBY untuk memegang kendali Partai Demokrat juga patut dipertanyakan. Sebab, kemerosotan elektabilitas Partai Demokrat menjadi 8% berdasar pada hasil survei yang dilansir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bukan semata-mata kesalahan Anas, melainkan andil semua unsur DPP, termasuk SBY sendiri selaku Ketua Dewan Pembina.

Lantas, apakah pengendalian Demokrat oleh SBY nanti bisa mendongkrak suara partai pemenang pemilu dua kali berturut-turut pada 2004 dan 2009 itu?  “Saya kira tidak akan memengaruhi elektabilitas partai. Malah bisa lebih buruk lagi. Partai Demokrat telanjur rusak, bagaimana mau meraih kembali angka 20%?” tandasnya.

Dia mengatakan, figur SBY pada saat ini juga sudah sulit mengangkat elektabilitas partai. Sebab, beberapa bulan terakhir ini masyarakat juga mulai jenuh dengan kepemimpinan SBY. Terlebih, SBY selaku presiden tidak memberikan budaya politik dan sistem demokrasi yang baik dengan memaksakan pelengseran Anas.

“Sosok SBY saat ini sulit mengangkat Partai Demokrat seperti tahun 2009. Dengan pamor SBY sekarang tidak mungkin masyarakat terpesona seperti dahulu,” kata Iberamsjah.

Dia juga menilai SBY telah memperlihatkan tipe pemimpin yang otoriter. Hal itu sangat tidak demokratis dan berakibat fatal untuk Partai Demokrat. Seharusnya Anas yang dinaikkan melalui kongres partai juga diturunkan melalui kongres atau kongres luar biasa. Bukan dilucuti melalui kudeta Ketua Majelis Tinggi.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, semua organisasi diatur dan harus tunduk pada ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD-ART). Selain itu, ada kekuasaan tertinggi untuk menggantikan kongres, yakni kongres luar biasa (KLB).

Menurut Margarito, tidak ada satu pun AD-ART Demokrat atau ketentuan partai yang memberikan kewenangan kepada ketua Majelis Tinggi memberhentikan ketua umum atau siapa pun dalam organisasi itu. Dengan begitu, pemberhentian Anas tanpa melalui KLB merupakan pelanggaran hukum. Konsekuensinya, kata dia, Anas dirugikan atas pemberhentian dari jabatannya.

Dengan kondisi itu, Anas bisa menggugat melalui pengadilan tinggi atas tindakan pelanggaran hukum tersebut. “Andaikan Anas atau siapa pun merasa dirugikan ketua Majelis Tinggi, tentunya hal itu bisa diperkarakan ke pengadilan tinggi dengan kualifikasi tindakan melawan hukum,” katanya.

Namun, kata dia, jika Anas melakukan gugatan saat ini, hal itu belum tepat karena apa yang dilakukan SBY belum konkret secara hukum. Hingga saat ini, menurut dia, Anas masih menjabat sebagai ketua umum. Yang terjadi adalah upaya pelengseran terhadap Anas secara perlahan. “Lain soal jika dia diberhentikan,” ucapnya. (K-2/Roy)

0 komentar:

Posting Komentar