About

Information

Kamis, 21 Maret 2013

Membongkar Harta "Haram" Para Jenderal (Part 1)

Kamis, 21 Maret 2013 - 19:17:36 WIB
Membongkar Harta "Haram" Para Jenderal (Part 1)
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Korupsi 


Komhukum (Jakarta) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melacak keberadaan harta Irjen Djoko Susilo yang menjadi tersangka dugaan kasus tindak pidana pencucian uang dari korupsi proyek Simulator SIM, di Korlantas Polri.

Hingga kini Sekitar 40-an asetnya mulai dari rumah sampai sawah dengan total nilai Rp. 60-70 miliar telah disita.

Kenyataan ini tentunya menimbulkan tanda tanya yang mencengangkan bagi publik. Hal ini karena ironis dengan kekayaan yang seharusnya diterima oleh Polisi.

Bagaimana mungkin seorang  polisi dengan gaji pokok tidak lebih dari Rp 5 juta perbulan tapi memiliki kekayaan puluhan atau malah mungkin ratusan miliar. Akal sehat sulit menerima kenyataan itu, namun realitas itulah yang terjadi. Dia adalah inspektur jenderal (irjen) Polisi Djoko Susilo. Dari mana harta Panas jenderal polisi ini sekaligus menguak kembali "kotak Pandora" yang menyembunyikan rekening gendut milik sejumlah petinggi polri sebelumnya.

Hingga kini rekening gendut petinggi Polri tetap misterius. Pasca keluarnya peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2011 Pihak kepolisian seharusnya membuka sejumlah informasi mengenai rekening gendut milik sejumlah Petinggi Polri. Namun pihak kepolisian berdalih rekening Bank merupakan milik pribadi yang kerahasian dilindungi UU. Wajarkah para jenderal memiliki harta yang bergelimpangan?

Menanggapi hal ini, Pengamat Kepolisian Alfons Loemau, M.si, M.Bus menegaskan bahwa kenyataan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa masuk akal secara matematis.

"Dari segi acounting Pendapat dihadapkan pada pengeluarkan dan aset yang dimilik tidak seimbang. Kekayaan yang dimilik ini adalah hal yang tidak wajar," tegasnya dalam wawancara yang dipantau Komhukum.com, Kamis (21/03).

Pernyataan ini ditegaskan oleh Dosen PTIK berdasarkan pengalaman empirisnya yang mengabdi puluhan tahun di Kepolisian. Bahkan Alfons merasa malu dengan transaksi yang mencurigakan dan kehidupan para perwira yang bergelimpangan.

"Sebagai orang yang pernah berada dalam institusi kepolisian tidak hanya sekedar malu tetapi jadi bertanya-tanya bagaimana organisasi ini berjalan dan bagaimana orang yang mengabdi diri bagi nusa dan bangsa melalui tugas pelayanan masyarakat bisa sedahyat ini kekayaannya," tanyanya.

Sedangkan mengenai institusi kepolisian yang bersikap tertutup, tidak transparan dan menolak siapa saja serta membuka siapa saja yang memiliki rekening dan  pemilik rekening gendut 17 perwira polri yang mencurigakan seperti dalam Laporan Hasil Analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Kita lihat ada beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang kerahasian mengenai jumlah keuangan dari seseorang itu," jelasnya. Tetapi ketika berhadapan dengan putusan  Komisi Informasi Pusat (KIP) mengenai Polri seharus membuka nama-nama pemilik rekening gendut, keputusan itu harus disertai Sanksi.

"Dalam negara hukum setiap keputusan harus ada punya sanksi. Kalau setiap keputusan hanya sekedar norma atau taruhlah  yang  saya lihat ada peraturan Mahkamah Agung, kalau orang tidak melaksanakan, apa sanksinya. Kalau tidak ada sanksi maka ini hanya sebuah himbaun tanpa makna apabila tidak ditaati," tegasnya.

Dengan demikian, Alfons menegaskan putusan KIP harus ditaati. "Kalau putusan KIP tidak ditaati apa sanksinya. Dengan demikian harus diikuti. Dan harusnya mengikat secara hukum dan ditaati. Para petinggi kepolisian sebagai alat negara penegak hukum harus tunduk dan taat melaksanakan hukum. Polri sebagai penegak hukum harus menjadi pelopor pada masyarakat bahwa mereka adalah orang yang taat pada hukum," tegasnya. (K-5/el)

0 komentar:

Posting Komentar