About

Information

Jumat, 08 Maret 2013

Tolak PBB, Bentuk KPU Sombong Dan Congkak

Jumat, 08 Maret 2013 - 12:04:56 WIB
Tolak PBB, Bentuk KPU Sombong Dan Congkak
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Politik 



Komhukum (Jakarta) - Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengecam keras pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengatakan akan menilai keputusan PT TUN, merupakan  argumentasi yang kurang terpuji dan pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang sombong dan congkak.

"Dengan begitu, KPU seolah ingin menjadi satu-satunya lembaga negara di republik ini yang berhak menilai, menimbang dan mengobjektifikasi semua putusan pengadilan yang berkaitan dengan pemilu," terangnya kepada Komhukum.com di Jakarta, Jumat (8/03).

Untuk itu, Ray berharap agar KPU meralat pernyataan tersebut, karena KPU bukan lembaga yang bisa dengan sombongnya menilai putusan pengadilan karena asumsi dibuat dengan argumentasi tidak lurus. Padahal dengan jelas dan terang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) mengabulkan sengketa yang diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB).

"Dengan begitu, sejak putusan itu dibacakan, PBB sudah berhak menjadi partai politik peserta pemilu dengan nomor urut 12. PBB mendapat nomor urut 12 karena sejatinya nomor urut 11 menjadi hak Partai Keadilan dan Kesatuan Indonesia (PKPI)," jelasnya.

Untuk itu, Ray berharap KPU dapat menyatakan partai politik peserta pemilu 2014 berjumlah 12 partai dan sesuai keputusan PT TUN KPU sebaiknya merevisi SK KPU No 05/Kpts/KPU/2013 tentang jumlah partai politik peserta pemilu. Revisi ini adalah kewajiban KPU karena putusan PT TUN Jakarta. Selain memasukkan PBB sebagai perserta pemilu dengan nomor urut 12, KPU juga sekaligus memasukkan PKPI sebagai partai politik peserta pemilu dengan nomor urut 11.

"Tentu saja kita semua berharap agar KPU segera melakukan revisi tersebut. Menunggu sampai tujuh hari untuk memutuskan apakah putusan PT TUN itu akan dilaksanakan atau tidak merupakan langkah yang mengabaikan perintah berlaku adil. Masalah segenting dan sebesar ini, karena menyangkut hak politik warga negara, mestinya menjadi prioritas KPU," bebernya.

Selain itu, Kata Ray, agenda lain yang biasa dilakukan KPU, yang sifatnya harian dan ritunitas, mestinya dibelakangkan. Dahulukan kewajiban dari pada hak. Menunggu tujuh hari itu seperti memperlihatkan sikap menantang, mentang-mentang dan tidak patuh pada hukum.

"Untuk tidak terus menerus dalam kesombongan itu, mestinya KPU segera melaksanakan putusan tersebut. Hal ini untuk mengurangi kerugian moril dan materil PBB dan PKPI yang berkelanjutan," urainya.

Ray juga meminta KPU untuk memberi kesempatan kepada dua parpol tersebut, agar dapat terintegrasi dalam tahapan pelaksanaan pemilu yang tengah berjalan. Karena sebenarnya, tak ada yang menjadi keberatan KPU untuk melaksanakannya karena pada dasarnya melaksanakan putusan pengadilan ini tidak memiliki implikasi teknis terhadap pelaksanaan pemilu.

"Sama sekali belum ada tahapan krusial yang bakal mengganggu tahapan pemilu lainnya bila KPU melaksanakan putusan pengadilan dengan segera. Oleh karena itu, upaya untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan PT TUN itu sebaiknya ditiadakan," ungkapnya.

Selain langkah itu, kata Ray, tidak dikenal dalam UU Pemilu bahwa KPU dapat mengajukan kasasi ke MA, juga sikap KPU itu memperlihatkan keangkuhan bahwa KPU dapat tidak tunduk pada putusan pengadilan apapun yang terkait dengan pemilu. Cukup sudah perlakuan semena-mena KPU kepada PKPI. Putusan Bawaslu yang mengabulkan PKPI sebagai peserta pemilu hingga sekarang diabaikan oleh KPU.

Bahkan setelah keluarnya fatwa Mahkamah Agung yang menyebut bahwa Bawaslu dapat membuat keputusan yang berbeda dengan KPU tidak juga menyurutkan arogansi KPU untuk berkenan tunduk patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku. Akibatnya, nasib PKPI tidak menentu, tersia-sia dan tanpa kepastian.

"Padahal salah satu prinsip pelaksanaan pemilu adalah adanya kepastian dalam pelaksanaan pemilu. Mestinya dengan putusan PT TUN terhadap PBB memberi kesadaran kepada KPU bahwa tata cara mereka dalam melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap calon partai politik peserta pemilu tidak dilakukan dengan cara yang sempurna, yang mengakibatkan banyak hak-hak parpol terabaikan," jelasnya.

Salah satunya terbukti di sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sengketa di Bawaslu dan terakhir sengketa di PT TUN. Apakah seluruh putusan-putusan ini tidak memberi pelajaran kepada KPU agar mereka lebih rendah hati dan penuh introspeksi.

Dari mana kesombongan dan kecongkakan KPU itu bersumber? Ray mengatakan, dengan putusan PT TUN ini sejatinya juga menampar wajah Bawaslu. Selain bahwa putusan sengketa mereka dengan mudahnya diabaikan KPU, dan tidak ada reaksi yang cukup dari Bawaslu untuk memperjuangkan agar putusan mereka efektif dalam pemilu, sekaligus untuk mencegah KPU melakukan tindakan yang melanggar peraturan atau UU.

Sengketa penetapan partai politik peserta pemilu di Bawaslu harus dievaluasi kembali. Selain bahwa putusannya bersifat lembek, tak aplikatif di lapangan, juga itu membuat panjangnya waktu dan prosedur bagi parpol yang hendak mencari keadilan.

"Kita berharap adanya Bawaslu yang sibuk dengan urusan menegakkan hak warga negara. Bukan sibuk dengan urusan Focus Group Discussion (FGD), rapat di sana rapat di sini, pelatihan ini dan itu. Bawaslu yang seperti ini layak kita evaluasi, apakah memang perlu ada atau tidak," pungkasnya. (K-5/Roy)

0 komentar:

Posting Komentar