Rabu, 06 Maret 2013 - 11:33:26 WIB
Densus Tidak Perlu Dibubarkan Tapi Harus Dievaluasi
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Kriminal
“Densus 88 dibentuk sesuai dengan tupoksinya untuk pemberantasan terorisme. Wacana pembubaran Densus 88 ini di tengah maraknya aksi terorisme di Indonesia. Kalau dibubarkan siapa juga yang menjamin bahwa Indonesia itu akan aman dan tenteram sebagai bangsa,” terang pengamat kepolisian Alfons Loemau, M.si, M.Bus dalam sebuah wawancara dengan Sindotv di Jakarta, Selasa (5/03).
Desakkan terhadap Mabes Polri untuk melakukan evaluasi terhadap keberadaan Densus 88 itu disuarakan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bersama pimpinan sejumlah Ormas Islam saat menemui Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (28/02). Saat itu Din menyampaikan adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri kepada tersangka kasus terorisme.
Nada serupa disuarakan oleh politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin. Wakil Ketua Umum PPP itu juga mendesak Mabes Polri untuk mengevaluasi keberadaan Densus 88 sebagaimana yang dituntut sejumlah Ormas Islam. "Perlu evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan Densus 88," katanya di Jakarta, Sabtu (2/03).
Menurut Lukman, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo harus serius menindaklanjuti tuntutan sejumlah ormas Islam yang menghendaki pembubaran Densus 88. Karena menurutnya, sudah sejak lama keberadaan Densus 88 mengusik rasa keadilan masyarakat.
Menanggapi desakan dan pendapat para pimpinan sejumlah ormas Islam dan politisi Islam itu, pengamat kepolisian Alfons Loemau, M.Si, M.Bus mengatakan, Densus 88 dibentuk semata-mata untuk memberantas aksi terorisme di Indonesia menyusul bertumbuh dan menjamurnya aksi-aksi terorisme yang merampas hak azasi manusia yang begitu besar.
“Tapi itu bukan berarti untuk memberantas terorisme harus juga dengan cara yang tidak sesuai hukum. Cara-cara secara hukum dalam koridor perlindungan hak azasi manusia harus tetap diutamakan,” tegasnya.
Menurutnya, dalam pemberantasan aksi terorisme itu para pelaksana berhadapan dengan orang-orang yang tidak ramah terhadap hak azasi manusia. Namun, kalau penanganan aksi terorisme itu dilakukan dengan cara-cara yang berulang-ulang, maka lama-kelamaan muncul fenomena psikologis yang menimbulkan empati kepada pelaksana pemberantasan terorisme itu.
“Lama-lama orang anggota yang terlibat dalam pemberantasan itu ada empati terhadap korban-korban yang berjatuhan. Sehingga dalam penanganan terorisme itu terkesan over dosis,” lanjut Alfons.
Sementara menanggapi adanya tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan anggota Densus 88, menurut Alfons, bahwa selama ini kegiatan detasemen khusus anti teror itu berjalan sesuai dengan protap untuk memberantas terorisme. Bahkan menurutnya, para anggota Densus sudah diatur sedemikian rupa hingga cara berbaris dan berjalan memasuki sasaran pun diatur secara baik dan benar.
Namun menurutnya, kalau ada kecenderungan penyimpangan-penyimpangan dalam setiap operasi Densus 88 dalam pemberantasan terorisme, seharusnya setiap kali melakukan kegiatan penggerebekan harus ada proses evaluasi.
“Sehingga ada masukan untuk memperbaiki langkah-langkah yang kurang dalam operasi dan yang harus disempurnakan. Penyimpangan itu terjadi karena kegiatan evaluasi pasca operasi kurang berjalan optimal,” katanya.
Protap Densus 88 sudah jelas, mulai dari mengejar, mengintai dan menangkap pelaku yang diduga teroris. Bahkan sebelum bergerak ke sasaran Densus harus didukung oleh data intelijen yang memadai, dan terukur artinya sasarannya jelas, siapa-siapa pelaku yang diduga, bagaimana jaringannya, dan di mana tempat-tempat persembunyiannya.
Tudingan bahwa Densus 88 telah melakukan pelanggaran HAM seperti yang dilontarkan oleh sejumlah ormas tentu juga harus dilihat dari sisi para korban akibat aksi terorisme. Menurut pengamat kepolisian yang juga dosen PTIK itu, kalau bicara HAM harus juga dilihat dari sisi para korban berjatuhan sebagai dampak dari aksi terorisme.
Menurutnya, korban berjatuhan akibat aksi terorisme itu adalah korban-korban yang tidak berdosa, bahkan mayat bergelimpangan, dan darah bertumpahan seperti pada peristiwa Hotel JW Marriot. Bagaimana kalau itu disandingkan dengan peristiwa penangkapan para pelaku terorisme sesuai dengan data intelijen yang memadai, lalu mereka diikat tangannya.
“Dibandingkan dengan korban-korban berjatuhan bagaimana itu. Apakah para pelaku yang ditangkap itu orang baik-baik, sementara korban yang berjatuhan itu memang pantas mati. Jadi HAM to HAM, kalau satu pelanggaran yang diangkat, juga kita harus mengangkat HAM yang harus kita bela,” tandasnya. (K-5/Yan)
0 komentar:
Posting Komentar