Kamis, 28 Maret 2013 - 11:40:16 WIB
KPK Tidak Konsisten Terapkan Aturan Suap
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Korupsi
"Kejaksaan dan Kepolisian cenderung menggunakan Pasal 5 UU Tipikor dengan ancaman maksimal lima tahun, sedangkan KPK menggunakan Pasal 12a dengan ancaman maksimal seumur hidup," kata Andi Hamzah dalam pernyataan persnya yang diterima di Jakarta, Kamis tentang materi dalam seminar Ikatan Hakim Indonesia 2013 "Permasalahan Gratifikasi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang Korupsi" di Jakarta, Rabu (27/3).
Secara kasat mata, tampaknya KPK ingin memberikan efek jera secara maksimal kepada penerima suap. Namun, dalam praktiknya KPK cenderung tidak konsisten. Kepada pemberi suap, KPK menerapkan pasal yang ringan, sedangkan penerimanya diganjar pasal berat.
Semestinya, sambung Andi, dalam penegakan hukum ada konsistensi. Misalnya, kalau KPK menggunakan Pasal 5 ayat 1 untuk menjerat pemberi suap, pasangannya, maka penerima suap, seharusnya dijerat Pasal 5 ayat 2.
"Sungguh tragis penerapan hukum di Indonesia," katanya. Selain itu, penerapan pasal suap dalam UU Tipikor juga berpotensi menjadi ganjalan dalam pelaksanaan pilpres dan pilkada. Sebab, dalam UU Tipikor, memberi sumbangan kepada pejabat petahana atau incumbent bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
"Setiap pemberi sumbangan pasti ada maunya, itu dimaklumi dalam KUHP. Namun, dalam UU Tipikor itu dianggap tindak pidana korupsi," jelasnya.
Kriminalisasi pemberi sumbangan Menurut Andi Hamzah, kasus pengusaha Siti Hartati Murdaya bisa dijadikan contoh mengkriminalisasi pemberi sumbangan pilkada itu.
"Untuk kasus Hartati, saya berpendapat perbuatan itu merupakan delik berdasarkan Pasal 13 UU Tipikor. Tapi tidak melawan hukum karena diatur dalam UU Pemilu, asal tidak melewati maksimum pemberian sumbangan," tegasnya.
Dia menjelaskan, apabila kondisinya melewati maksimum, maka dia dapat dituntut berdasarkan UU Pemilu, bukan UU Tipikor.
"Sayang KPK tidak berwenang menuntut pelanggaran UU Pemilu. Ini berbeda dengan KPK-nya Malaysia yang berwenang juga menuntut pelanggaran UU Pemilu. Berarti orang Malaysia lebih tajam dalam mengantisipasi keadaan ke depan," terangnya.
Dia pun menyarankan, agar ketidakadilan ini lebih cepat ditiadakan, maka Presiden bisa membuat Perpu khusus untuk memperbaiki Pasal 11, Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 6 ayat 2, sedangkan Pasal 12 a/b dan 12c dihapus.
"Sebagai informasi, kekacauan UU Tipikor ini menjadi bahan disertasi di Belanda. Dan Profesor hukum Belanda juga sudah tahu ada blunder (kesalahan fatal,red) dan foolish mistake dalam UU Tipikor yang dibuat DPR periode 1999-2004," tukasnya. (K-5/el)
0 komentar:
Posting Komentar