About

Information

Rabu, 16 Januari 2013

Nasional ( Korupsi ), Rabu 16 Januari 2013

Rabu, 16 Januari 2013 - 13:37:52 WIB
KPK Diminta Usut Bupati Muara Enim
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Korupsi 


Komhukum (Jakarta) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk mengusut Bupati Muara Enim, Muzakir Sai Sohar dalam pemberian izin 13 perusahaan tambang di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.

Hal itu diungkapkan langsung oleh kordinator Gerakan masyarakat Sumatera Selatan (Gemass). Menurutnya Bupati  Muzakir Sai Sohar telah melakukan penyalahgunaan wewenang atas pemberian izin 13 perusahaan fiktif.

"Ini menandakan ada indiksi korupsi, dengan kerugian negara Rp. 8,9 miliar yang terdeteksi, namun masih lebih lagi yang belum terdeteksi," ujarnya di depan Gedung KPK Jakarta.

Menurut Usman kabupaten Muara Enim mempunyai cadangan yang setara dengan sumber daya batubara Sumsel hingga 61 persennya, tak heran bila banyak perusahaan yang sengaja mengeruk kekayaan tambangnya.

Keterlibatan Bupati Muzakir Sai Sohar pun terlihat dalam penyimpangan izin usaha pertambangan yang diberikan kepada beberapa perusahaan pertambangan  yaitu PT. Daya Jaya Raya, PT. Prada Nusantara lestari, PT. Sekar Abadi Lestari, PT. Abadi Buana Lestari, PT. Anugrah Sumber Cahaya, PT. Bara Enim Perkasa, PT. Bumi Sumber Berkah, PT. Citra Bara Indonesia Abadi, PT. Batu Selaras, PT. Grahetya Bina Daya, PT. Harapan Kalimantan Jaya, PT. Triantama Mitra Persada dan PT. Unitrade Daya Mandiri.

"Oleh karenanya, kita minta KPK berani usut tuntas dugaan kasus izin usaha pertambangan 13 perusahaan fiktif ini, tangkap dan adili Bupati Marzuki dan usut kasus pencucian uang di balik SK tambang fiktif ini," terangnya. (K-5/Achiel)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rabu, 16 Januari 2013 - 02:00:47 WIB
Tujuh Anggota DPRD Riau Ditahan KPK
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Korupsi 


Komhukum (Jakarta) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tujuh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai tersangka dalam kasus korupsi penerimaan hadiah terkait perubahan Peraturan Daerah No. 6 tahun 2010 Provinsi Riau tentang Dana Pengikatan tahun jamak pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional.

"Setelah dilakukan pemeriksaan oleh KPK terhadap ketujuh anggota DPRD Riau, maka berdasarkan kewenangan, KPK melakukan penahanan terhadap ketujuh tersangka untuk 20 hari ke depan," kata juru bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa (15/1).

Ada tiga lokasi penahanan ketujuh tersangka yaitu di rumah tahanan Cipinang, rutan Jakarta Timur cabang KPK dan rutan Jakarta Timur cabang KPK di Detasemen Polisi Militer (Denpom) Guntur Kodam Jaya. Ketujuh anggota DPRD tersebut adalah Adrian Ali (fraksi PAN), Abu Bakar Siddiq (fraksi Partai Golkar), Tengku Muhazza (fraksi Partai Demokrat), Zulfan Heri (fraksi Partai Golkar), Syarif Hidayat, Muhamad Rum Zein (fraksi PPP), Turaoechman Asy`ari (fraksi PDI-Perjuangan).

"Alasan mereka ditahan di tempat berbeda sebenarnya teknis saja karena ada ruangan kosong di masing-masing rutan," ungkap Johan. Pasal yang disangkakan kepada ketujuh tersangka adalah pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 Undang-undang No. 31 tahun 1999, No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP.

Johan menjelaskan KPK baru menahan ketujuh tersangka karena membutuhkan waktu untuk pendalaman. "Kasus ini banyak menjerat tersangka, sehingga perlu waktu untuk pemberkasan yang dilakukan oleh KPK secara bertahap jadi ketujuh tersangka yang ditahan akan segera dilengkapi berkasnya," tambah Johan.

KPK menurut Johan melakukan pengembangan untuk dua hal dalam perkara korupsi tersebut. "Ada dua hal dari kasus ini, pertama pengembangan kasus suap terkait Perda No. 6 dan kedua adalah pengembangan kasus pengadaan `main stadium` PON, kami belum tahu sejauh mana hasil dari penyidik," ungkap Johan.

Selain ketujuh orang tersebut, dua anggota DPRD Riau dalam kasus suap PON yaitu Faisal Aswan dari fraksi Golkar dan M. Dunir dari fraksi PKB telah divonis pidana 4 tahun penjara dalam kasus yang sama, sementara mantan Wakil Ketua DPRD Riau dari Fraksi PAN, Taufan Andoso masih berstatus terdakwa.

M. Dunir merupakan Ketua Pansus revisi Perda PON, sedangkan Faisal adalah yang menerima titipan uang senilai Rp. 900 juta dari pihak kontraktor yang diduga sebagai uang jasa (uang lelah) dalam penuntasan revisi perda yang dominan adalah untuk penambahan anggaran pada PON lalu.

Sebagai imbal balas atas hadiah itu, Taufan dan rekan-rekannya berjanji bakal mengesahkan rencana revisi Perda tentang Perubahan Perda Nomor 6/2010 yakni Pengikatan Dana Anggaran Kegiatan Tahun Jamak untuk pembangunan arena menembak dan stadion utama PON XVIII Provinsi Riau.

Perda yang akan direvisi ada dua, yakni Perda No. 6 dan Perda No. 5, bila revisi perda pertama lolos, pihak perusahaan atas perintah Pemprov Riau melalui Kadispora, Lukman Abbas waktu itu, akan memberikan kembali Rp. 900 juta dengan total Rp. 1,8 miliar. Saat pemberian uang suap itu, KPK langsung menangkap basah Faisal yang menerima uang di rumahnya, pada kawasan Simpang Tiga, Pekanbaru.

Selain anggota DPRD, KPK juga sudah menetapkan staf Gubernur Riau Lukman Abbas yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Olahraga pada Dispora Riau Eka Dharma Putri, dan pegawai PT. Pembangunan Perumahan (PP) Rahmat Syaputra sebagai tersangka. (K-4/EIO)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rabu, 16 Januari 2013 - 01:54:57 WIB
Soal Indosat, DPR Akan Panggil Kejaksaan Agung
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Korupsi 


Komhukum (Jakarta) - Anggota Komisi I DPR, Enggartiasto Lukito, berencana memanggil Kejaksaan Agung dan Kementerian Komunikasi Informasi terkait kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi Indosat dan IM2.

"Kita ingin mendengarkan pendapat kedua lembaga itu dalam menafsirkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999," kata Lukito di Jakarta, Selasa (15/1).

Dia mengatakan perbedaan penafsiran UU Nomor 36/1999 akan berdampak terhadap industri telekomunikasi di Indonesia. Anggota Komisi Perhubungan dari Fraksi Partai Golkar itu, menyatakan apabila BPKP mengangap kasus IM2 termasuk tindak pidana korupsi, maka banyak perusahaan provider akan "gulung tikar".

Sementara itu, anggota lain Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Effendi Choirie, meminta lembaga pemerintah tidak mengintervensi Indosat dalam kasus hukum, namun harus fokus terhadap industri telekomunikasi.

Pada agenda Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR, CEO Indosat, Alex Rusli, meminta perlindungan karena UU Nomor 36/1999 tidak dapat dijadikan pegangan untuk menjalankan industri telekomunikasi.

Pakar telekomunikasi, Roy Suryo, menyatakan IM2 tidak melanggar hukum terkait dugaan penyalahgunaan frekuensi 2,1 GHz. Dia mengungkapkan anak perusahaan Indosat, yakni IM2 dilaporkan menyalahgunakan frekuensi dan tidak membayar pajak.

Padahal dia mencontohkan tuduhan terhadap Indosat dan IM2 sama halnya dengan kasus mempailitkan Telkomsel dari laporan yang salah. Sebelumnya, Menkominfo, Tifatul Sembiring, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Mastel telah turun tangan menyatakan kasus Indosat tidak melanggar aturan.

Namun, Kejagung tetap melanjutkan pengusutan dan menetapkan Indosat, serta IM2 melakukan tindak kejahatan korporasi. (K-4/EIO)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rabu, 16 Januari 2013 - 01:45:41 WIB
Tersangka Pengemplang Pajak Diserahkan ke Kejaksaan
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Korupsi 


Komhukum (Balikpapan) - Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kalimantan Timur menyerahkan seorang tersangka pengemplang pajak berinisial EDW kepada Kejaksaan Tinggi Kaltim, Selasa (15/1). "Tindak pidana yang disangkakan adalah tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp. 475 juta lebih," ungkap Kepala Bidang Humas Kanwil DJP Jumri.

Jumlah itu tepatnya Rp. 475.548.215. Menurut Jumri, jumlah itu dipungut tersangka selama tahun 2008 dan 2009 atas proyek-proyek yang dikerjakannya. EDW adalah direktur utama sebuah perusahaan jasa konstruksi di Bontang, Kalimantan Timur. "Tersangka kami serahkan karena berkas perkara telah dinyatakan lengkap," sambung Jumri.

Menurut Kabid Humas, para penyidik di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kalimantan Timur memerlukan waktu selama tiga bulan hingga memastikan pembuktian kejahatan yang dilakukan EDW. Jumri juga menjelaskan bahwa kewenangan menyidik penyelewengan pajak oleh Kanwil DJP diberikan oleh Pasal 39 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP).

DJP memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap Wajib Pajak yang diduga melakukan tindak pidana pajak yang ancaman hukumannya minimal 6 (enam) bulan penjara dan maksimal 6 (enam) tahun penjara dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak yang terutang dan paling banyak empat kalinya.

Saat ini jajaran Penyidik DJP Kaltim juga tengah melakukan proses penyelidikan terhadap beberapa Wajib Pajak di wilayah Kalimantan Timur atas dugaan melakukan tindak pidana pajak dengan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.

Modus operandi atau cara kejahatan dilakukan adalah dengan tidak menyetorkan pajak yang dipungut atau dipotong oleh Wajib Pajak, melakukan restitusi PPN dengan mengkreditkan faktur pajak tidak sah, dan melakukan rekayasa transaksi dengan maksud untuk mengecilkan jumlah pajak yang seharusnya dibayar oleh Wajib Pajak tersebut. (K-4/EIO)

0 komentar:

Posting Komentar