About

Information

Sabtu, 30 Maret 2013

Tugas BI Makin Berat Pasca Pemberlakuan OJK

Sabtu, 30 Maret 2013 - 14:01:51 WIB
Tugas BI Makin Berat Pasca Pemberlakuan OJK
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Perbankan 


Komhukum (Jakarta) - Sejak kelahiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tantangan yang dihadapi seorang Gubernur Bank Indonesia (BI) akan sangat berbeda daripada sebelumnya.

Tugas Gubernur BI sebelum era OJK mencakup bidang makro ekonomi, keuangan dan moneter serta pengaturan dan pengawasan perbankan, tetapi sejak kehadiran OJK, BI tidak lagi mencakupi tugas pengaturan dan pengawasan perbankan.

BI akan lebih fokus kepada tugas menjaga stabilitas moneter dan mengatur sistem pembayaran.

Untuk melaksanakan tugas menjaga stabilitas moneter dan menjaga sistem pembayaran, maka BI sebagai bank sentral bukan hanya mengawasi bank, melainkan juga dapat mengawasi pasar modal dan lembaga keuangan nonbank.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan agenda BI untuk memperkuat peran pasca pemberlakuan OJK dilakukan dengan mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan makro prudensial dalam memperkuat ketahanan perekonomian nasional.

"Pengalihan pengawasan bank dari BI ke OJK memunculkan banyak pertanyaan bagaimana peran BI dalam mempengaruhi dan mengawal peran perekonomian nasional, ini alasan penguatan BI mendesak dilakukan," ujar dia.

Menurutnya, perekonomian Indonesia sedang dihadapkan pada situasi yang mengganggu stabilitas makro, seperti adanya defisit neraca pembayaran, dan stabilitas nilai tukar.

"Ini merupakan hal penting yang harus segera ditangani," kata dia.

Namun di sisi lain BI harus memperlancar masa transisi pengalihan pengawasan perbankan tersebut.

"Dalam konteks tersebut saya memiliki kepercayaan bahwa BI akan mampu memenuhi harapan masyarakat. Untuk itu, BI harus mampu mengoptimalkan kebijakan moneter dan makro prodensial sebagai kebijakan baru," katanya.

Ia menjelaskan pelaksanaan kebijakan moneter tidak bisa dan tidak boleh hanya mengandalkan instrumen suku bunga saja dalam mengatasi masalah ekonomi apakah inflasi yang tinggi, nilai tukar yang bergejolak dan kredit kurang mengucur dan defisit neraca pembayaran.

Menurut dia, nilai tukar harus diarahkan mendukung pengendalian inflasi dengan menstabilkan nilai tukar sesuai dengan kondisi fundamental dan termasuk hal yang mempengaruhi nilai tukar tersebut.

"Harus ada pengendalian masuknya modal asing, khususnya yang berjangka pendek dan spekulatif, sehingga dapat mendukung mandat BI dalam mengendalian perekonomian nasional," katanya.

Caranya dengan jalan mendorong modal asing berjangka panjang yang bermanfaat untuk perekonomian. Di samping itu kebijakan makro prodensial dengan cara bagaimana mengendalikan kredit, likuiditas dan mendorong kredit yang kurang seperti disektor pertanian dan UMKM.

"Termasuk mengendalian kredit berjangka pendek seperti di bidang properti, kredit kendaraan bermotor, yang pada tahun lalu telah diberlakukan kebijakan uang muka adalah bagian dari kebijakan makro prodensial tersebut," ujar dia.

Tantangan BI

Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, Bank Indonesia (BI) di bawah kepemimpinan Agus Marto dapat mengeluarkan kebijakan makroprudensial efektif dan bermanfaat bagi pembangunan perekonomian nasional.

"Agus merupakan figur yang sudah sangat dikenal yang tidak pernah diragukan integritasnya. Yang terpenting Gubernur BI baru yang terpilih harus mampu menjawab tantangan yang berbeda dengan Gubernur BI sebelumnya," ujarnya.

Ia mengatakan ada tiga tantangan besar yang dihadapi Gubernur BI baru. Tantangan pertama ialah berkaitan dengan tugas BI pada era setelah kelahiran OJK yang berbeda dengan era sebelumnya.

"Sejak kehadiran OJK, BI fokus menangani persoalan makro prudensial dan tidak lagi mengatur serta mengawasi perbankan," ujarnya.

Kedua, Gubernur BI bersama Menteri Keuangan, Ketua OJK dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab menjaga stabilitas sistem keuangan melalui Forum Stabilitas Sistem Keuangan ( FKSSK).

"Tugas ini berlaku baik dalam situasi normal maupun ketika terjadi ancaman krisis keuangan. Penugasan Gubernur BI dalam forum semacam itu baru sekarang ditegaskan dalam Undang-undang (UU) OJK karena forum atau komite sejenis ini, sejak model Dewan Moneter zaman Orde Baru, secara legal belum pernah sekuat sekarang posisinya," kata dia.

Hal tersebut sangat penting karena jika forum tersebut mengambil keputusan khususnya dalam situasi krisis tidak lagi dipersoalkan lagi secara politik.

Ketiga, menyangkut masalah mengamankan proses transisi BI ke OJK.

"Selain komunikasi lebih baik dengan asosiasi kami ingin juga kalau ada masalah-masalah yang terkait dengan perbankan atau mau menelurkan kebijakan, BI juga undang kita, karena masa transisi dalam beberapa bulan akan diserahkan ke OJK," kata dia.

Sementara itu, terkait pekerjaan berat yang menanti Agus, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan Gubernur BI terpilih, harus fokus pada beberapa hal utama. Yang pertama dan terutama adalah soal pengendalian inflasi dan nilai tukar.

"Kami berharap BI fokus pada nilai tukar walau BI enggan karena soal Undang-undang Devisa tapi kami berharap bisa masuk ke situ," ujar politisi Partai Golkar tersebut.

Selain itu, Harry juga berharap Gubernur BI terpilih mampu membangun dan mengembangkan sistem pembayaran yang aman, nyaman dan efisien.

Hingga kini, sistem pembayaran di Indonesia belum terlindungi, karena belum ada undang-undang khusus mengatur sistem yang telah ada sejak berdirinya perbankan di Indonesia tiga abad yang lalu.

Degan dibentuknya OJK, kata dia, fungsi pengawasan jasa keuangan menjadi domain OJK. Sementara, pengawasan perbankan lebih dominan dilakukan BI. Sistem pembayaran lebih mendominasi di perbankan.

"Menurut saya, bank tanpa sistem pembayaran ibarat rumah kosong. Diperlukan UU tentang sistem pembayaran, dan di dalamnya harus masuk aspek security untuk menjamin efisiensi dan kenyamanan nasabah," ujar Harry.

Sayangnya, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI, belum ada rencana untuk membuat UU ini, padahal sangat dibutuhkan untuk perlindungan nasabah maupun bank itu sendiri.

"Dalam Prolegnas yang ada baru Amandemen UU BI, Pasar Modal, Dana Pensiun, Hutang Negara, dan Redenominasi. RUU Sistem Pembayaran belum diusulkan. Usulan UU bisa dari DPR RI atau dari pemerintah, bila BI kesulitan, DPR siap membantu, ini penting, kalau bisa ini harus didiskusikan dan di-push agar terlaksana lebih cepat," ujar Harry.

Ia mengungkapkan dalam UU BI, perlindungan sistem pembayaran tidak terlalu eksplisit. Sementara dalam UU OJK, sistem pembayaran tetap pada BI, dengan begitu sangat jelas diperlukan UU baru tentang sistem pembayaran.

Harry juga meminta BI mengupayakan perluasan akses terhadap layanan keuangan dan mendorong pengembangan sektor riil. "Harus ada kepedulian ke pertanian dan usaha kecil," ujarnya.

Ia pun meminta kebijakan 20% kredit untuk UMKM terus berjalan. Fokus lainnya yakni soal koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

"BI harus berkoordinasi dengan OJK terkait 'macro prudential', dan 'micro prudential'," ujarnya.

Pengamat pasar uang Farial Anwar mengatakan setelah pengawasan perbankan akan resmi dialihkan ke OJK pada tahun depan, maka otomatis tugas bank sentral hanya mengawasi soal moneter khususnya inflasi serta menjaga pergerakan nilai tukar rupiah, utamanya pada dolar AS.

Masalahnya, hingga saat ini, Indonesia memang masih menganut rezim devisa bebas yang entah disadari atau tidak oleh pemerintah belum bisa diubah dan belum ada niat dari pemerintah sendiri untuk merubah Undang-undang Nomor 23/1999.

"Dengan adanya rezim devisa bebas tersebut, maka asing bebas keluar masuk," ujarnya.

Menurut dia, dengan rezim devisa bebas tersebut, asing juga masih bisa masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal instrumen tersebut merupakan pendalaman instrumen moneter khusus di dalam negeri.

"Sampai saat ini pun, belum ada niat dari pemerintah untuk melakukan 'holding' periode (menahan arus dana asing) ke SBI atau instrumen moneter lainnya agar dana asing ini bisa bertahan lebih lama dan tidak seenaknya keluar masuk instrumen moneter. Kalau di Thailand kan lain. Bank sentral mereka mau melakukan itu. Imbasnya, kurs mereka relatif terjaga dan inflasi juga terkendali," ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak memiliki kebijakan terkait sistem nilai tukar mengambang bebas. Sehingga, nilai tukar rupiah memang sering terombang ambing seiring kondisi dolar AS di pasar.

"Kalau ada ekonom yang bilang bahwa nilai tukar Rp. 9.700 atau level berapa pun aman buat eksportir atau importir, itu bohong besar," ujarnya.

Terkait inflasi, Indonesia juga masih memiliki tingkat inflasi relatif lebih tinggi dibanding negara-negara sekawasan. Bank sentral harus menjaga nilai inflasi ini agar tidak mengganggu stabilitas perekonomian dalam negeri. Sehingga, posisi Gubernur BI memang harus independen dan lepas dari intervensi apapun, termasuk partai politik.

"Diharapkan Agus bisa berani membuat kebijakan menghapus rezim devisa bebas ini dan bisa menjaga inflasi agar terkendali. Selama ini belum ada Gubernur BI maupun Menteri Keuangan yang berani menghapus rezim devisa bebas tersebut," kata dia. (K-2/yan)

0 komentar:

Posting Komentar