About

Information

Senin, 25 Maret 2013

KUHP “Kumpul Kebo” Rawan Disalahgunakan Dan Langgar HAM

Senin, 25 Maret 2013 - 13:29:34 WIB
KUHP “Kumpul Kebo” Rawan Disalahgunakan Dan Langgar HAM
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Kriminal 


Komhukum (Jakarta) – Rancangan Undangan-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tentang kumpul kebo yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR RI menuai protes masyarakat.

Sejumlah kalangan menilai KUHP tersebut rawan disalahgunakan oleh aparat dalam implementasi di lapangan. Selin itu, menyeret pidana pelaku kumpul kebo dalam Rancangan KUHP dinilai membatasi hak asasi manusia (HAM).

"Hubungan antarmanusia itu wilayah privasi, bukan pidana, Sebaiknya, hubungan pribadi antar sesama manusia bukan masuk ranah hukum pidana," ujar warga yang tinggal di perumahan elite Meruya Ilir, Yudha Permana, Jakarta Barat, Senin (25/03).

Kekhawatiran Yudha juga beralasan, ketika Komhukum.com menanyakan jika ini tetap dipaksakan, akan terjadi konflik antara aparat dan warga. Apalagi, dalam undang-undang tersebut tidak perlu pembuktian bahwa seseorang melakukan hubungan seksual atau tidak. Akibatnya, ada salah tangkap besar kemungkinan terjadi.

Kemungkinan terjadinya pemerasan, bukan hanya oleh aparat tapi oknum tertentu, bisa saja terjadi. "Kalau seorang tinggal di apartemen, kedatangan saudara dari luar kota dan kebetulan lawan jenis, butuh tempat tinggal untuk cari kerja atau rekreasi, tiba-tiba ditangkap, apakah itu dibenarkan. Padahal kalau tinggal di apartemen antara satu dan yang lain biasanya mengurus diri masing masing," tegasnya.

Yudha juga menilai negara sudah terlalu jauh mengurusi hak privat seseorang. Seharusnya, dengan memperkuat institusi di masyarakat seperti RT dan RW, sudah cukup mencegah adanya pasangan kumpul kebo. Sistem lapor tamu 1X 24 jam cukup untuk membatasi dua orang berbeda jenis kelamin tinggal dalam satu tempat.

Namun, jika harus diperkuat dengan aturan hukum pidana, dia menilai negara sudah "mengada-ada". Bahkan adanya rencana hukuman bagi pelaku kumpul kebo bukti negara "kurang kerjaan". Aparat negara seharusnya tidak perlu buang-buan waktu mengurus hal-hal yang tidak signifikan pengaruhnya kepada masyarakat. Energi dan anggaran dihabiskan untuk mengurusi kehidupan pribadi warga sangatlah tidak etis, padahal tidak ada pembangunan dan kemajuan berarti bagi rakyat. 

"Banyak yang sinis dan berkomentar bahwa UU itu ujung-ujungnya duit dan KUHP: Keluar Uang Habis Perkara. Mending DPR buat UU signifikan bagaimana Indonesia bisa lebih maju dan bersaing untuk ekonomi dan sains," ujar dia.

Rancangan Undang-undang KUHP yang disampaikan Pemerintah ke DPR, terkait dengan ‘kumpul kebo’ ini dicantumkan di Pasal 485 Rancangan KUHP dengan bunyi: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Menyeret pidana pelaku kumpul kebo dalam Rancangan KUHP dinilai membatasi hak asasi manusia (HAM). Sebaiknya, hubungan pribadi antar sesama manusia bukan masuk ranah hukum pidana. 

"Negara jangan terlalu jauh mengatur relasi pribadi antar manusia. Itu urusan pribadi, saya sangat menyayangkan jika itu dipaksakan untuk ditetapkan," ujar anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, William Yani.

Dengan tegas Yani menolak adanya rancangan hukuman dalam KUHP bagi individu yang melakukan kumpul kebo. Menurut Yani, keinginan negara menghukum adanya relasi antar individu sudah mulai membatasi HAM. 

Yani mengatakan hubungan pribadi antara satu orang dengan orang lain dalam bentuk kumpul kebo bukan ranah hukum pidana. Aturan hukum baru bisa masuk ketika hubungan itu ada tindakan terjadi tindak pelanggaran seperti adanya laporan pemukulan, pembunuhan, atau jenis pidana lainnya. Namun, saat kedua orang itu sepakat menjalin hubungan dengan tinggal satu rumah, itu merupakan bentuk komitmen antarmanusia, bukan pelanggaran.

"Memang negara mau mengeluarkan biaya pernikahan? Kalau orang tidak punya uang, tapi tinggal di satu tempat sambil menabung untuk biaya pernikahan, apa salahnya," ujarnya.

Dia berharap pemerintah pusat lebih fokus mencari cara mengentaskan kemiskinan. Upaya menekan hubungan antarmanusia dengan membatasi melalui peraturan hukum itu bertentangan dengan UUD 1945 dan HAM.

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta berpendapat pasal-pasal yang mengatur tentang perzinahan, kumpul kebo, dan pelacuran harus dihapus dari RUU KUHP. Alasannya, karena memberi potensi yang besar dalam melahirkan pelanggaran HAM. Hal itu dikatakan Fauzi dari LBH Apik, Jakarta. 

Di sisi lain, pasal-pasal tersebut seakan mengukuhkan kontrol negara yang semakin kuat terhadap kehidupan warga negaranya sehingga harus dihapus dalam RUU KUHP.

RUU KUHP Bab Kesusilaan ini memayungi isu penting di antaranya perzinahan (pasal 485-489), perkosaan (pasal 490), dan percabulan (pasal 491-489). Dalam pencermatan LBH Apik Jakarta, kata Fauzi, ada kekacauan paradigmatik dalam struktur RUU KUHP yang menempatkan isu perkosaan dan pencabulan ke dalam Bab Kesusilaan. Padahal isu tersebut merupakan kejahatan seksual (sexual violence) yang menyerang langsung integritas tubuh dan nyawa korban.

Ia menambahkan semangat yang dibangun dalam RUU KUHP tersebut sangat didominasi oleh kepentingan moral yang bersifat partikuler yang berlawanan dengan nilai-nilai HAM. 
Seperti diketahui, pemerintah telah menyerahkan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (KUHP) ke DPR. Salah satu pasal baru yang muncul dalam Rancangan KUHP ini adalah Pasal 485 yang mengatur soal pidana penjara satu tahun bagi pasangan hidup bersama (kumpul kebo).

Pasal 485 menyebutkan Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak Rp. 30 juta. Hukuman ini bersifat alternatif yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda. (K-2/Roy)

0 komentar:

Posting Komentar