About

Information

Senin, 14 Januari 2013

Wisata, Senin 14 Januari 2013

Tato Suku Moi Menghadapi Lampu Merah
Diposting Oleh : Administrator
Kategori: Tradisi 



Komhukum (Jayapura) - Tim peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura mengungkapkan tradisi membuat tato tradisional di tubuh pada Suku Moi, Kabupaten Sorong, Papua Barat terancam punah.

"Saat ini hanya generasi tua suku Moi yang masih menerapkan tato pada tubuhnya, sedangkan generasi mudanya sudah tidak menerapkan tato lagi, dan diperkirakan terancam punah," kata staf tim peneliti Hari Suroto di Jayapura, Papua, Minggu (13/01).

Menurutnya, suku asli yang tinggal di Kabupaten Sorong adalah suku Moi. Yang mana suku Moi tersebar hampir di seluruh wilayah Kabupaten Sorong dan daerah pemekaran lainnya di kawasan tesebut.

Wilayah Kabupaten Sorong dikenal dengan wilayah hukum adat Suku Moi atau lebih dikenal dengan suku Malamoi. "Tato bagi suku Moi merupakan hiasan tubuh, dan bahan pembuat tato berupa arang halus (yak kibi) hasil pembakaran kayu dicampur getah pohon langsat (loum)," katanya.

Kemudian, lanjut Hari Suroto, duri dari pohon sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam ramuan getah langsat dan arang yang selanjutnya ditusukkan pada bagian tubuh yang akan dibuat motif tato tradisional tersebut, bisa di bagian dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul serta bagian belakang tubuh.

"Motif tato ini berupa motif geometris atau garis-garis melingkar serta titik-titik berbentuk segitiga kerucut atau tridiagonal yang dibariskan," katanya.

"Sedangkan untuk desain tato disesuaikan dengan luas sempit bagian tubuh yang hendak ditato, misalnya tato di hidung akan mengikuti bentuk hidung," sambungnya.

Budaya tato merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh penutur Austronesia dari Asia Tenggara yang bermigrasi ke wilayah Sorong, Papua Baray pada zaman neolitik.

"Generasi muda saat ini sudah tidak bertato lagi, mungkin juga karena perkembangan zaman ataupun norma dan etika pekerjaan yang ada saat ini," kata Hari alumnus Universitas Udayana Bali itu.

Tato tradisional suku Moi merupakan budaya yang harus dilestarikan, hal ini diperlukan kerja sama berbagai pihak untuk melestarikannya. Baik itu mulai dari lembaga masyarakat adat, generasi tua suku Moi, generasi muda suku Moi dan dinas terkait. 

"Pelestarian tato tradisional suku Moi yaitu dengan cara melakukan penelitian, pendokumentasian, dan mewariskannya ke generasi muda," tutupnya. (K-5/el)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menikmati Pesona Kelimutu Dan Mitos Burung Arwah
Diposting Oleh : Administrator
Kategori: Info Wisata 



Komhukum (Ende) - Matahari baru menyembul setengah ketika langkah kakiku menata tangga di danau tiga warna yang berada di Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak asing lagi danau yang namanya telah terkenal di seantero Nusantara. Danau Kelimutu.

Pesona danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores, NTT dengan keajaibannya yang luar biasa ini telah memaksa banyak wisatawan untuk mengunjungi dan menikmati keindahan dari fenomena perubahan-perubahan warna air tiga kawah Kelimutu.

Kawah Tiwu Ata Polo yang selalu menunjukkan warna merah, Kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau zambrud dan kawah Tiwu Ata Mbupu yang berwarna putih. Pesona dari ketiga kawah inilah yang membuat khayalak umum menyebut danau Kelimutu dengan nama Danau Triwarna (tiga warna) walaupun pada momen-momen tertentu ketiga kawah ini menampakkan warna yang seragam.

Selain pesona dari fenomena danau triwarna ini, di kawasan seluas 5.356,5 hektar ini juga ditemukan aneka flora dan satwa liar yang tergolong langka. Salah satunya burung Garugiwa (Pachycephala Nudigula). Burung dengan kepala warna hitam sedangkan badan, sayap hingga ekor berwarna hijau kekuningan ini merupakan spesies endemik di kawasan ini dan tidak terdapat di tempat lain.

Saat kaki melangka menuju puncak kawah Danau Kelimutu sekitar pukul 08.00 Wita maka akan nampak kicauan yang sangat variatif dari burung-burung jantan garugiwa. Semarak kicauan burung yang keras dan nyaring, bersahutan, menghiasi pagi di Danau Kelimutu bagaikan sambutan Selamat datang yang ramah dan menghangatkan desiran angin dingin di pegunungan kelimutu.


Burung Garugiwa biasanya akan berkicau mulai pukul 06.00 hingga 10.00 Wita. Kicauannya juga berbeda-beda sesuai ketinggian. Pada kawasan 1.400 meter di atas permukaan laut ada sekitar 12 kicauan. Bahkan menurut warga lokal pada ketinggian lebih dari 1.400 meter di atas permukaan laut terdapat burung-burung yang memiliki sekitar 17 kicauan.

Keistimewahan inilah yang membuat masyarakat setempat menyebutnya sebagai burung arwah. Selain sulit ditangkap, burung ini juga muncul hanya saat tertentu. Maka tak mengherankan banyak warga yakin jika Danau kelimutu ini dijaga oleh Burung arwah ini.


Selain keyakinan ini, masyarakat setempat percaya perubahan warna air kawah kelimutu juga diibaratkan sebagai isyarat akan terjadi sesuatu di negeri ini. Masyarakat etnik Lio yang menghuni kawasan ini meyakini Kelimutu sebagai tempat yang sakral dan kampung para leluhur. 

Dari segi etimologis, nama Kelimutu yang terdiri dari kata "Keli" yang berarti gunung dan "Mutu" yang bermakna berkumpul para leluhur. Dengan demikian bagi pengunjung di Danau ini dilarang berbicara dan melakukan hal-hal yang melawan dengan kodrat.

Peringatan ini dapat  terlihat pada pintu gerbang (Pere konde) yang tertulis, danau ini dijaga Konde Ratu, Sang Penguasa. Danau Tiwu Ata Polo adalah "markas" arwah orang jahat, Danau Tiwu Nua Muri Koo Fai menjadi istana arwah kawula muda sedangkan Danau Tiwu Ata Mbupu merupakan singgasana arwah kaum sepuh yang bijaksana.

Dengan demikian tak mengherankan jika pesona keindahan dan keajaiban alam Kelimutu ini diselimuti dengan mitos-mitos yang diejawantahkan secara nyata dalam berbagai ritual magis tetap memberi pesona yang tak akan kecewa jika dinikmati. (K-5/El)


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jaga Kebugaran, Nadya Berjalan 3 Km
Diposting Oleh : Administrator
Kategori: Gaya Hidup 


Komhukum (Jakarta) - Di tengah kesibukannya mengurus keluarga, Nadya Hutagalung, aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan, model yang berdomisili di Singapura itu mengaku menjaga kebugaran tubuhnya dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer.

"Setiap minggu, bisa tiga kali jalan. Saya biasanya jalan 3 kilometer," katanya saat ditemui di jumpa media "Style Renewal: Makeover ala Top Model" dari Fimela dan TRESemmé, Sabtu (12/1).

Ia lebih suka melakukan aktivitas luar ruangan itu di malam hari, selain menghindari panas, ketiga anaknya pun sudah tertidur. Ia juga melakukan pilates untuk menjaga kebugaran tubuhnya.

Selain aktivitas fisik, Nadya Hutagalung juga menjaga asupan makanan yang masuk ke tubuhnya. "Apa yang saya makan harus healthy, mostly vegetarian. Nggak 100 persen, mungkin 80 persen vegetarian," kata Nadya yang terlihat segar dalam balutan jeans dan blus biru.

Ia banyak mengkonsumi jus segar yang terbuat dari sayuran maupun buah-buahan. Baginya, menjaga kebugaran dan bentuk tubuh penting karena profesi yang dilakoninya. "Saya harus di depan kamera, pakai bajudesigner on their size." (K-4/EIO)

0 komentar:

Posting Komentar