About

Information

Senin, 18 Maret 2013

Belajar Kearifan Lokal Dari Suku Baduy

Sabtu, 16 Maret 2013 - 11:58:29 WIB
Belajar Kearifan Lokal Dari Suku Baduy
Diposting Oleh : Administrator
Kategori: Gaya Hidup


Komhukum (Lebak) - Persediaan pangan di kawasan masyarakat adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak melimpah dan terbukti hingga kini belum pernah terjadi kelaparan.

"Warga kami belum pernah terjadi kelaparan sepanjang sejarah karena kami melarang menjual padi jika tiba musim panen ladang huma," kata Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Dainah di Lebak, Jumat (15/03).

Menurutnya, petani di sini jika musim panen padi disimpan di leuit atau lumbung pangan yang berada di belakang rumah.

Masyarakat Baduy hingga kini melarang menjual padi karena bisa menimbulkan kesengsaraan.  Oleh karena itu, masyarakat Baduy belum pernah terjadi kelaparan.

Mereka petani Baduy untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan menanam padi di ladang huma. Penanaman di lahan darat merupakan peninggalan sejak nenek moyang.

Selain itu juga petani Baduy tidak menggunakan pupuk kimia untuk menyuburkan lahan pertanian. Petani Baduy juga tidak memakai peralatan pertanian, seperti cangkul maupun traktor saat menanam padi.

"Kami menggarap lahan huma ladang dengan alat arit tanpa cangkul," katanya.

Ia mengatakan, masyarakat Baduy mereka menanam padi huma di lahan-lahan milik Perhutani maupun di lahan warga luar kawasan Baduy dengan sistem bagi hasil setelah panen.

Mereka menanam padi huma dengan varietas padi lokal dan tibanya musim panen selama enam bulan.

"Warga kami hingga kini disebut kaya tidak dan miskin tidak. Namun, yang penting warga kami tidak kelaparan," ujar Jaro Pamarentahan (Kepala Pemerintahan) Baduy Dainah.

Dainah mengatakan, penduduk Baduy berjumlah 11.175 jiwa (sensus 2010), sumber mata pencahariannya bertani ladang huma untuk mendukung ketahanan pangan.

Sedangkan, tanah hak ulayat Baduy seluas 5.138 hektare, sehingga perlu adanya perluasan kawasan masyarakat adat.

Pihaknya pernah mengusulkan perluasan kawasan tanah hak adat kepada pemerintah provinsi Banten dengan membebaskan lahan di sekitar perbatasan masyarakat Baduy.

Sebab tahun ke tahun jumlah penduduk terus bertambah, namun hingga kini belum ada realisasinya.

Ia menjelaskan dari 5.138 hektare, terdapat hutan lindung yang dipelihara dan dijaga agar tidak rusak serta memiliki 120 mata air.

Sementara sisanya untuk lahan pertanian ladang huma dan pertanian lainnya.

Warga Baduy hingga kini masih mempertahankan falsafah "Lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung, kurang teu menang ditambah, leuwih teu menang dikurang". Artinya, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, kurang tidak boleh ditambah, dan lebih tidak boleh dikurang.

"Dengan falsafah itu kami hidup aman dan damai serta belum pernah kelaparan," katanya.

Ia juga mengatakan, masyarakat Baduy Dalam hingga saat ini masih berjalan kaki ke mana pun mereka pergi, termasuk hingga ke Jakarta.

Masyarakat di perkampungan Baduy Luar yang sudah mau naik ojek atau mobil angkutan antarkota ketika bepergian agak jauh dari desanya.

Sebagian besar mereka bertani juga berprofesi sebagai perajin kain tenun, penjual gula aren dan penjual barang kebutuhan sehari-hari.

"Kami selama ini tetap mempertahankan adat nenek moyang dan hidup dengan sederhana," katanya.

Sementara itu, Sarni, seorang petani Baduy mengaku dirinya kini sudah menanam padi huma juga tanaman lainnya, seperti pisang dan kayu-kayuan.

Lahan huma seluas 1,5 hektare milik Perhutani di Kecamatan Gunungkencana nantinya bagi hasil setelah musim panen. "Jika panen nanti kami bisa mencukupi kebutuhan selama setahun ke depan," katanya. (K-5/el)

0 komentar:

Posting Komentar