About

Information

Kamis, 14 Maret 2013

Mungkinkah RUU Pilkada Mengendus Praktik Politik Uang ?

Kamis, 14 Maret 2013 - 01:33:01 WIB
Mungkinkah RUU Pilkada Mengendus Praktik Politik Uang ?
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Politik 


Komhukum (Jakarta) - Semenjak diadakannya sistem pemilihan langsung kepala daerah baik di tingkat provinsi (gubernur dan wakil gubernur) dan kabupaten/kota (bupati dan walikota), selalu terjadi penyimpangan atau kekisruhan pada enam isu pokok yang tidak pernah terselesaikan oleh pemerintah.

Dalam diskusi publik yang diadakan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan tema "RUU Pilkada, Rekayasa Setengah Hati" yang diadakan pada hari Rabu (13/03) di Bakoel Koffie, Jakarta. 

Enam cluster isu ini dikupas habis dengan tiga narasumber yang sangat Kompeten, yaitu Peneliti Senior LIPI bidang Politik Prof. Siti Zuhro, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof. Ramlan Surbakti dan anggota Komisi II DPR dari fraksi PKB Abdul Malik Haramain.

"Ke-6 isu pokok yang harus dibahas segera antara DPR dan Pemerintah meliputi; 1. Mekanisme Sistem Pemilihan; 2. Pemilihan wakil kepala daerah yang tidak satu paket dengan kepala daerah; 3. Syarat kepala daerah yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan dengan kepala daerah; 4. Tugas, wewenang, dan syarat wakil kepala daerah; 5. Penyelesaian sengketa hasil Pemilukada; 6. Penyelenggaraan Pilkada seperti pembiayaan Pilkada dan Pilkada serentak. Ke-6 isu ini harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan dalam RUU Pilkada," kata Veri Junaidi sang moderator dari Perludem.

Atas ke-6 isu pokok ini para nara sumber memberikan pandangan, masukan, gagasan berdasarkan keilmuannya. Abdul Malik Haramain mendapat kesempatan pertama dalam memaparkan pandangannya terhadap ke-6 isu pokok tersebut. "Saya mengusulkan pilkada dilakukan hanya dengan satu putaran, dan harus ada batasan dana untuk seorang calon," papar Malik Haramain.

Malik mengatakan, inti dari UU Pilkada nantinya bagaiamana pilkada harus berlangsung efisien dengan biaya kecil dan berlangsung secara bersih. Pilkada juga dituntut untuk benar-benar menghasilkan kepala daerah yang diharapkan. "Inilah yang menjadi tujuan revisi UU Pilkada," imbuhnya.

Mengenai Petahana atau calon Incumbent Malik menambahkan, "Perlu pengaturan tegas terkait petahana. Kendati demikian, petahana tidak diwajibkan mengundurkan diri enam bulan sebelum pilkada. Sebab, Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan pengurangan masa jabatan kepala daerah melanggar konstitusi. Karenanya, pembatasan petahana terkait larangan pembuatan kebijakan strategis setahun menjelang pilkada seperti merotasi pegawai negeri sipil serta pemberian bantuan sosial (bansos)."

Guru besar Ilmu politik Universitas Airlangga Prof Ramlan Surbekti ketika diberi kesempatan oleh moderator memaparkan, "Pada praktiknya, petahana sering menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dan golongan walaupun seringkali mereka mengatasnamakan publik."

Ramlan mencontohkan pemberian uang sebesar Rp. 100 juta kepada setiap desa seperti terjadi di Jawa Barat sebelum Pemilukada belum lama ini. Rakyat mungkin menganggap bantuan sosial itu untuk kepentingan mereka. "Namun, yang menjadi soal pencairannya dilakukan beberapa hari menjelang pemilukada, sementara untuk pencairan anggaran lain memerlukan waktu 6-7 bulan. Untuk menjelaskan bansos ini untuk pemilu kada tidak perlu ahli politik," ujarnya.

Sementara menanggapi isu pokok yang lain yaitu pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal Ramlan mengatakan, "Dalam rentang 2,5 tahun akan membuat partai politik semakin akuntabel, Pemilih bisa mengawasi kinerja parpol setiap 2,5 tahun tanpa harus menunggu pemilu lima tahunan. Kedaulatan rakyat pun meningkat. Pemilih bisa mengalihkan dukungan di pemilu lokal, ketika parpol ditingkat pusat tidak bekerja untuk rakyat, demikian sebaliknya," tegas Ramlan

Koalisi pun bisa disiapkan jauh hari sebelum pemilu. Koalisi terbentuk karena konsep dan program, bukan transaksional. Karena itu, pemerintahan bisa lebih efektif. Bahkan secara alamiah, penyederhanaan parpol terjadi. Untuk penyelenggaraan pemilu, KPU juga akan lebih terencana. Dalam soal efisiensi anggaran, kata Ramlan, hal ini jelas terjadi sebab tiga kali pemilu yang dilangsungkan serentak menjadi satu kali akan menghemat honor Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara. 

Diperkirakan, penghematan biaya penyelenggaraan pemilu bila diserentakkan dalam dua kali pemilu setiap lima tahun, alih-alih tujuh kali dalam setahun, bisa mencapai Rp. 15 triliun. Pengamat politik senior LIPI Siti Zuhro menanggapi permasalahan Pemilukada dari sisi lain dengan mengatakan, "Pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak langsung di tingkat provinsi dapat memanjakan daerah otonomi, karena membuat daerah tidak maksimal dalam pelaksanaan otonomi."

"Itu justru membuat daerah tidak berkarya secara maksimal, karena ada pembiaran dari gubernur terhadap kabupaten dan kota," kata peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Oleh karena itu, dia mengusulkan pilkada langsung dilakukan di tingkat provinsi, bukan di tingkat kabupaten-kota seperti yang diusulkan Pemerintah dalam RUU Pilkada. "Yang diperlukan justru penguatan gubernur, sehingga pilkada langsung sebaiknya digelar di tingkat provinsi, supaya dapat mengatur langsung kabupaten dan kota di bawahnya," tambah dia.

Pilkada langsung di tingkat provinsi dapat membuka kesempatan bagi daerah untuk menjalankan hak kekuasaan otonomi daerah yang telah diberikan pemerintah pusat. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, menurut dia, gubernur hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, sehingga perannya tidak berfungsi maksimal di daerahnya.

Sementara itu, di RUU Pilkada, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan, Pemerintah mengusulkan pemilihan gubernur diselenggarakan tidak langsung, yaitu dengan dipilih oleh anggota DPRD provinsi setempat. Pemerintah menilai, pilkada secara langsung menelan biaya besar, apalagi jika dilakukan dalam dua putaran yang juga dapat menimbulkan konflik horizontal. Dengan pemilihan gubernur tidak langsung, pemerintah berharap praktik politik uang dalam pelaksanaan pilkada dapat diminimalisasi. (K-4/Acil)

0 komentar:

Posting Komentar